Selasa, 17 Maret 2015

Sebut Saja Baladewa

Malam-malamku bagai malam seribu bintang,
Yang terbentang di angkasa bila kau disini,
Tuk sekedar menemani, tuk melintasi wangi,
Yang slalu tersaji di satu sisi hati…

Untuk kalian yang suka mendengarkan musik, pecinta musik, bait diatas mungkin sudah tidak asing lagi. Ya, karena bait diatas adalah lagu Indonesia, bukan lagu asing, apalagi ikan asing. Secuil bait diatas saya ambil dari jemuran tetangga sebuah lagu berjudul Roman Picisan, karya Dewa 19. Roman Picisan, yang secara harfiah bisa saya artikan sebagai kisah cinta murahan. Tetapi sesungguhnya lagu Roman Picisan bukanlah lagu murahan. Lagu tersebut menjadi salah satu hits di Indonesia pada saat memasuki millenium baru. Sebuah lagu yang juga membuat saya langsung jatuh hati saat itu juga, ketika saya masih duduk di bangku sekolah dasar. Bukan berarti saya tidak menyukai lagu anak-anak sebagaimana mestinya. Sebelumnya saya sudah akrab lebih dulu dengan lagu-lagu dari Trio Kwek-Kwek,  Bondan Prakosa, Eno Lerian, Joshua, Sogem, Nastel, hingga lagu-lagu original soundtrack kesatria baja hitam RX. Namun seiring bertambahnya usia, saya mulai menikmati lagu-lagu pop yang berceceran pada masa itu (90an), dan salah satunya adalah Dewa 19.

Mengapa harus Dewa 19?

Mengapa tidak? Memang di era 90an itu menjadi masa-masa keemasan bagi grup musik di Indonesia, terutama genre pop. Ada banyak grup musik yang sangat populer dan mampu menghasilkan karya luar biasa. Sebut saja diantaranya Gigi, Sheila on 7, Base Jam, Java Jive, Element, Stinky, dan masih banyak lagi. Namun dari sekian banyak referensi musik yang ada di Indonesia, saya memutuskan untuk menyukai Dewa 19. Entah bagaimana prosesnya, Roman Picisan mampu menghipnotis saya hingga terbawa untuk ikut menyanyikannya setiap kali lagu tersebut saya dengar. Perpaduan lirik dan melodi yang sangat luar biasa, dimana saya sendiri belum mengerti makna dari lagu tersebut. Saya juga belum tahu istilah baladewa, sebutan untuk para penggemar Dewa 19. Bahkan, yang lebih wakwaw lagi, saya juga belum mengenal betul, siapa itu Dewa 19, selain dua nama, Once dan Ahmad Dhani. Disitu kadang saya merasa asu sedih.
Hingga kemudian saya masuk ke jenjang Sekolah Menengah Pertama, saya mulai lebih dikenal sebagai salah seorang baladewa. Album keenam dari Dewa bertajuk Cintailah Cinta menjadi album pertama yang saya koleksi (dalam bentuk kaset pita). Dengan uang pemberian almarhum kakek, sebuah kaset yang dibanderol 20 ribu itu saya beli di toko kaset Bulletin, tidak jauh dari sekolah. Toko kaset yang keberadaannya sekarang sudah sangat langka. Sejak saat itu, hampir setiap hari saya memutarnya dengan radio tape kesayangan yang sampai saat ini masih berfungsi cukup baik. Satu per satu lagu saya hafal dengan sangat baik, tanpa terkecuali. Dan seiring berjalannya waktu, saya mulai melengkapi koleksi kaset Dewa 19 hingga saat ini mencapai 10 buah. Sudah semuanya saya dengar berkali-kali, dan bisa dikatakan 90% lebih saya hafal liriknya. Begitulah kira-kira cara saya dalam menikmati setiap karya dari Dewa 19. Selain itu saya juga mulai tahu siapa-siapa saja personel yang pernah mengisi Dewa 19, diantaranya ada Wawan, Erwin, Ari Lasso, Wong Aksan, Tyo Nugros, Once, Yuke, dan Agung. Hanya Andra dan Ahmad Dhani sediri, personel awal yang masih bertahan.


10 kaset original yang mulai saya koleksi pada tahun 2002

koleksi buku Manunggaling Dewa Ahmad Dhani
radio tape yang masih berfungsi sampai sekarang














Sebagai sebuah grup band besar, Dewa 19 tentu memiliki banyak penggemar (baladewa) dengan tipe yang beraneka macam. Sebagai salah satu di antara mereka, saya memahami bagaimana setiap baladewa selalu berupaya menunjukkan ekspresi kecintaan mereka terhadap Ahmad Dhani dan kawan-kawan. Mulai dari koleksi kaset, poster, kaos, foto, dan atribut lainnya. Mereka selalu ingin berada di baris paling depan setiap konser Dewa 19. Berteriak lantang, seolah ingin menunjukkan bagaimana lagu-lagu dari band asal Surabaya ini diingatnya dengan sempurna. Saya tahu betul, selain Slank yang memang sudah lebih dulu berkibar, Dewa 19 memiliki banyak baladewa sejati. Mungkin saya belum temasuk baladewa dengan label sejati tersebut. Hal itu bukan masalah, karena apa yang saya rasakan tentang Dewa 19 tidak butuh label, penghargan, atau apapnu itu dari orang lain.
Berbeda dengan kebanyakan baladewa, saya memang tidak memiliki koleksi banyak, selain kaset. Saya tidak mengkoleksi poster, pin, stiker, kliping, atau pernak-pernik lain yang bisa menunjukkan identitas sebagai baladewa. Cukuplah syair dari tembang-tembang yang mayoritas diciptakan PakDhe (sapaan khas baladewa untuk Ahmad Dhani) menghibur dan menemani perjalanan hidup saya. Beberapa konser yang digelar di Jogja juga pernah saya ikuti. Konser-konser outdoor dengan tiket murah, dan bahkan gratis yang tentu saja situasinya selalu padat. Belum pernah saya menonton konser yang lebih eksklusif dengan harga tiket yang pasti selangit. Ya, faktor ekonomi ini juga yang membuat saya menjadi baladewa yang lebih realistis, tidak muluk-muluk. Tanpa mengurangi apresiasi terhadap rekan-rekan baladewa lain yang selalu berjuang keras demi menonton Dewa 19, saya memang tipikal yang sederhana dan tidak ribet. Tetapi tetap saja, ada keinginan suatu saat dapat menyaksikan konser tunggal Dewa 19 meskipun hanya sebatas konser reuni. Semoga saja.

Apakah semua lagu dari Dewa 19 saya suka?

Tentu saja, tidak. Jujur, dari sekian banyak lagu Dewa 19, ada satu dua lagu yang saya ‘terpaksa’ ataupun ‘dipaksa’ suka. Setiap membeli kaset, tentu saya harus mendengarkan semua lagunya tanpa terkecuali. Dan dalam satu album tidak semuanya menjadi hits dan populer. Selalu saja ada setidaknya satu lagu dalam satu album yang tidak dikenal kecuali oleh baladewa. Wajar saja, karena perkembangan musik di Indonesia telah melahirkan banyak musisi, dan grup band hebat selain Dewa 19. Jika harus menyebut satu saja lagu yang kurang saya suka, mungkin itu adalah “Perempuan Paling Cantik Di Negeriku Indonesia”, sebuah single yang diluncurkan bersama artis lain selain Dewa 19. Mengapa? Karena lagu itu (dengan unsur musik techno yang cukup kental) terdengar aneh di telinga saya. Ah, mungkin memang selera musik saya yang kuno, tidak mengikuti perkembangan teknologi.

Tapi kalau lagu favorit ada kan?

Hmm, sebenarnya itu juga bukan pertanyaan yang mudah saya jawab. Dewa 19 bukanlah band kemarin sore yang hanya mencetak 1-2 album kemudian menghilang. Banyak sekali lagu-lagu dengan kualitas tinggi dihadirkan Ahmad Dhani. Beberapa di antaranya adalah Roman Picisan, Kangen, Kirana, Separuh Nafas, Dua Sejoli, Satu Hati, Pupus, dll. Tentu tidak mudah memilih salah satu dari sekian banyak lagu untuk dijadikan sebagai favorit. Namun jika harus, saya akan menyebut Separuh Nafas sebagai lagu yang sangat saya suka. Secara lirik mungkin tidak se-syahdu Kangen, dan se-romantis Roman Picisan. Tetapi musiknya-lah yang menjadi kekuatan di lagu ini. Dengan beat yang lebih cepat dari dua lagu sebelumnya, Separuh Nafas terdengar dinamis dan tidak akan bosan didengarkan. Setuju? Tentu tidak semua harus setuju, karena lagi-lagi ini mengenai selera.

Selain lagu, sepertinya tidak ada alasan kuat lain yang membuat saya mencintai Dewa 19. Karena pada awalnya memang dari mendengarkan lagunya, bukan dari melihat personelnya. Meskipun tidak jarang saya mengikuti berita mengenai personel Dewa, khususnya Ahmad Dhani. Banyak yang mengira, sebagai baladewa saya juga merupakan anak buah Ahmad Dhani. Maksudnya, apapun berita tentang Ahmad Dhani, penampilan, dukungan politik, (eh) juga saya ikuti. Jelas itu salah besar. Satu hal yang saya kagumi dari seorang Ahad Dhani adalah kejeniusannya dalam menciptakan lagu. Itu saja, tidak lebih. Selain itu mungkin juga gaya bicaranya yang terkesan arogan, hehehe. Tapi kalau masalah rumah tangga, saya tidak terlalu peduli. Bahkan saya termasuk yang kecewa atas perceraiannya dengan Maia Estianty. Jadi, kalau mau menggosip dengan saya tentang Ahmad Dhani, anda salah tempat.

Masih Berharap…

Sampai tulisan ini saya posting, belum ada kejelasan mengenai status dari Dewa 19. Kabar Dewa 19 bubar sudah biasa saya dengar, apalagi sejak ditinggalkan Once, sang vokalis sekitar 3 tahunan lalu. Sedih. Ahmad Dhani sepertinya sudah sibuk menjadi presiden di Republik Jancukers Cinta. Sibuk mengurusi banyak artisnya yang tergabung dalam Republik Cinta Management (RCM). Bagaimana dengan band baru Mahadewa? Ah, memang bagus, dengan vokalis Judika yang karakter rock-nya sangat kuat, tapi tetap saja bukan Dewa 19. Ahmad Dhani sendiri yang pernah menyatakan bahwa Mahadewa bukan pengganti Dewa 19, meskipun di album perddananya (semoga bukan satu-satunya) ada beberapa lagu Dewa 19 yag digarap ulang.

Lalu Dewa 19 sendiri bagaimana? Ini adalah pertanyaan yang selalu ingin saya tanyakan langsung ke PakDhe. Orang-orang bilang Dewa 19 sudah bubar. Ahmad Dhani pun hanya pernah menyatakan (seingat saya) bahwa Dewa 19 masih ada, namun konsepnya hanya reuni. Maksudnya, Dewa 19 masih akan melakukan konser reuni (dengan vokal Ari Lasso) di beberapa kota, dan yang saya tahu sudah dilakukan di Malang. Sepertinya terdengar bagus, bisa mengobati rasa kangen. Tapi kok harapan saya masih lebih dari itu ya, saya masih berharap Dewa 19 akan meluncurkan album baru, bukan sekedar single. Jadi, jika ada yang menganggap Dewa 19 sudah bubar, saya hanya menganggap Dewa 19 sedang istirahat, vakum, atau apapun itu, dalam tempo yang sesingkat singkatnja entah sampai kapan.

Salam Satu Hati.


Minggu, 01 Maret 2015

Touchdown Borneo!

Semester genap tahun 2010. Itu adalah semester ke empat saya berkuliah di jurusan yang anda tuju sedang sibuk Antropologi Budaya UGM, jogja. Sesuai jadwal / tradisi / aturan / program di jurusan saya tersebut, semester ini merupakan saatnya bagi angkatan saya (2008) untuk membentuk Tim Penelitian Lapangan (TPL) di libur akhir semester (sekitar bulan Juli). TPL ini wajib, setidaknya satu kali selama menjalani masa perkuliahan. Penelitian ini menjadi sayarat untuk menempuh salah satu matakuliah wajib, yaitu Praktek Penelitian Lapangan (PPL). Sebelumnya saya sudah mengikuti TPL satu kali pada Januari 2010 di daerah Pekalongan selama lebih kurang 2 minggu. Bedanya, untuk TPL yang diadakan pada libur akhir semester genap akan lebih lama yaitu sekitar satu bulan. Untuk itu persiapan perlu dilakukan dengan lebih baik. Dan, tujuan yang menjadi pilihan untuk penelitian kali ini adalah suatu tempat yang jauh di sebrang: Kalimantan. Tepatnya di Kalimantan Barat.

Sebuah tempat yang belum pernah terpikir bagi saya untuk mengunjunginya dalam waktu dekat. Sebuah tempat di luar zona nyaman saya selama ini. Ya, selama 20 tahun lebih kehidupan saya hanya berputar-putar di sekitaran jogja. Dari waktu mbrojol di rumah sakit bethesda, sampai kuliah di UGM, kota gudeg menjadi saksi bagaimana saya menjomblo berproses. Hingga tiba saatnya untuk siap melangkah keluar, melihat kehidupan yang berbeda. Bagi beberapa teman saya yang berasal dari berbagai daerah luar Jawa, merantau mungkin sudah tak asing lagi. Tapi bagi saya ini jelas menjadi awal yang baru.


Kamis, 1 Juli 2010

Pagi-pagi sekali saya sudah harus bangun, demi tidak ketinggalan pesawat yang akan mengantarkan saya menuju petualangan baru. Pagi itu, saya ingat betul, di tengah mempersiapkan segala amunisi, saya menyempatkan untuk online sejenak mengunjungi facebook. Pada tahun-tahun itu, update status masih menjadi semacam ritual bagi saya sebelum melakukan sesuatu (setelah dua tahun terakhir ini saya menilai bahwa update status terlalu sering itu sungguh memuakkan). Terlebih sebuah perjalanan jauh ini. Tidak ingat pasti apa yang saya ucapkan (malas juga scroll facebook ngecek status lebih dari 4 tahun lalu), yang jelas semacam basa-basi perpisahan dengan kekasih kota jogja yang saya cintai ini. Dan, kemungkinan untuk tidak dapat meng-update akun facebook selama sebulan ke depan, karena sedikit banyak saya sudah mendapat informasi bahwa sinyal disana sangat susah. Setelah dirasa cukup, mengecek segala persiapan, berpamitan, segeralah saya beranjak menuju Bandara Adi Soetjipto Yogyakarta.

Dibutuhkan waktu kurang lebih 20 menit (jika lancar) untuk mencapai bandara dari rumah. Tidak ingat pasti, mungkin ini kali pertama saya mengunjungi bandara sebagai seorang calon penumpang. Selama ini saya memang hanya berkutat dengan perjalanan darat, sesekali di air sekedar menyebrang.

Suasana bandara pagi itu sudah cukup ramai. Beberapa kawan sudah terlihat hadir, dengan identitas yang hampir seragam: kaos TPL. Kaos lengan panjang berwarna coklat gelap dengan gambar (yang katanya) burung enggang warna kuning di bagian dada kiri. Tidak ketinggalan tulisan universitas sebagai identitas akademisi[1]. Cukup oke. Terlebih, waktu itu saya juga mengenakan topi a la Indiana Jones (yang kemudian hilang pada ekspedisi tahun berikutnya). Dengan seabrek tas bawaan berisi amunisi, dan semangat berapi-api, pasukan Dr. Pujo Semedi[2] siap menempuh ekspedisi. Rombongan yang berjumlah mencapai 60an orang ini kemudian segera check in, mengurus bagasi, dan menunggu penerbangan yang dijadwalkan pukul 9.30 WIB. Dengan sedikit keterlambatan, akhirnya sekitar jam 10 terbang juga pesawat yang kita tumpangi.

Setelah lebih kurang 90 menit berada di udara, akhirnya pesawat mendarat juga di Bandar Udara Supadio, Pontianak. Tidak ada perbedaan waktu antara Jogja dengan Pontianak. Suhu udara pada waktu itu berkisar pada 31 derajat celcius, begitu menurut keterangan yang diberikan oleh pramugari. Turun dari pesawat, disambut dengan suasana yang sangat berbeda. Udara pada saat itu mungkin tidak lebih panas dari di Jogja, tapi saya merasa cuku menyengat dan sedikit lembab. Saya merasa di beberapa bagian tubuh menjadi gatal, meskipun hal tersebut tidak mengkhawatirkan karena tidak lama untuk kemudian beradaptasi. Masuk ke dalam bandara, suasana terlihat berbeda jika dibandingkan dengan bandara Adi Soetjipto di Jogja. Bandara yang tidak terlalu padat, dengan fasilitas yang juga bisa dibilang biasa-biasa saja. Setelah mengambil tas dari bagasi, saya segera keluar mencoba menghirup udara yang lebih segar. Di luar, kita sudah dituggu oleh dua teman sesama mahasiswa Antro UGM yaitu Zerry dan mbak Anti. Mereka berdua memang lebih awal berada di Kalimantan untuk melakukan survei serta membantu mengurus perijinan. Dari bandara, rombongan segera dikondisikan untuk menuju ke sebuah dermaga yang katanya tidak jauh lokasinya. Sebelumnya, panitia menyiapkan beberapa mobil untuk membantu meringankan barang bawaan peserta. Mobil yang disiapkan hanya menampung tas-tas besar dan beberapa peserta (terutama perempuan). Sedangkan yang lain, termasuk saya akan menuju dermaga dengan berjalan kaki.

Jarak dari bandara menuju ke dermaga diperkirakan mencapai lebih kurang 1,5 km. Pemandangan berbeda mulai di jumpai di perkampungan warga yang kita lewati. Bangunan fisik rumah yang sebagian besar menggunakan kayu, dengan konsep rumah panggung. Rumah-rumah yang nampak sederhana, dengan halaman yang cukup, dan hampir setiap rumah memiliki teras. Di tengah perkampungan tersebut saya menyempatkan diri mampir ke sebuah tempat fotokopi untuk memperbanyak KTP dan surat perijinan, sekedar untuk berjaga-jaga. Akhirnya setelah berjalan kurang dari 30 menit sampailah kita di sebuah dermaga yang kemudian saya tahu bernama Dermaga Sungai Durian. Sebuah dermaga yang tidak terlalu besar, dengan pemandangan sungai dan beberapa perahu nelayan yang sedang bersandar.

Waktu itu sekitar jam setengah satu siang. Panitia sudah menyediakan makan siang berupa nasi bungkus untuk semua rombongan peserta. Kita segera mencari tempat masing-masing untuk menikmati makan siang tersebut. Dan saya memilih sebuah warung kecil yang berada tepat di ujung dermaga, pinggir sungai. Makan siang sambil menikmati pemandangan sungai dengan sesekali perahu yang lewat. Selesai makan, belum ada tanda-tanda perahu yang ditunggu. Saya kemudian memutuskan untuk singgah sejenak di sebuah masjid, tidak jauh dari dermaga.

Selepas dari masjid, saya kembali bergabung dengan rombongan yang masih menunggu perahu datang. Beberapa orang mengobrol asyik di pinggir sungai, beberapa mengambil gambar, dan tidak sedikit yang mulai lelah menunggu. Gerimis sempat turun beberpa kali, membuat kita semakin tak sabar menanti. Mulai dari yang mondar-mandir tidak jelas,hingga ada yang tertidur bersandar di sebuah pohon pinggir dermaga.

Kira-kira hampir jam 2 siang, ketika sebuah perahu kayu yang cukup besar mulai menurunkan laju dan merapat ke dermaga sebelum kemudian berhenti. Suara perahu yang memecahkan keheningan siang itu sontak membuat kita semua yang sudah menunggu segera menyambut dengan antusias. Sambil menunngu perahu menurunkan penumpang dan muatan lain, kita mulai menyiapkan tas masing-masing.
Satu per satu peserta mulai masuk ke dalam perahu, menata barang bawaan, keudian mencari tempat duduk. Perahu ini cukup untuk menampung semua peserta beserta barang bawaan masing-masing yang tentu saja tidak sedikit. Tas-tas besar ditata rapi di bagian tengah perahu, sementara tempat duduk berada di bagian samping kanan dan kiri, memanjang dari depan hingga belakang. Tidak lama perahu segera bersiap untuk berangkat. Perlahan, meninggalkan dermaga dan mulai menyusuri sungai Kapuas. Perjalanan panjang yang menjadi awal dari petualangan kita pada waktu itu.
Borneo!















[1] Peserta TPL terdiri dari mahasiswa UGM yang bekerja sama dengan mahasiswa dari Universitas Toronto Kanada, dan Universitas Leiden Belanda.
[2] Dosen lapangan yang memimpin langsung penelitian.

Rabu, 11 Februari 2015

ada gula ada semut



oprec kkn bangka. tema ttg desa wisata pesisir. tempat, desa penyak, kec Koba, Kab Bangka Tengah , kepulauan Babel.
masih dibutuhkan dari kluster agro dan kesehatan.
hub Muti 085740018033. segera.
terimakasih.

Begitulah isi dari thread berjudul KKN Bangka Tengah, Pantai Penyak di sebuah laman portal akademik. Postingan yang cukup pendek jika dibandingkan dengan judul lain yang bermaksud serupa. Tapi, setidaknya tertera nomor yang bisa dihubungi. Ini bukan sesuatu yang sepele, ini menunjukkan bahwa mereka memang serius mencari anggota tambahan. Muti, nama yang sepertinya menarik untuk saya hubungi di awal Februari ini.

Januari, 2012
Beberapa hari terakhir saya memang selalu mengunjungi portal kombat akademik. Pagi, siang, sore, bahkan malam hari, karena portal ini memang tidak pernah tutup bagi mahasiswanya (kecuali anda tidak terkoneksi dengan internet). Bukan untuk mengisi KRS, apalagi TTS. Bukan pula melihat nilai yang beberapa di antaranya mungkin tidak bernilai. Ini berkaitan dengan 3 sks yang wajib saya tempuh setelah mencapai 100 sks, KKN. Bukan sesuatu yang berbau korupsi, meskipun saya telah melakukan korupsi waktu untuk KKN ini. Ya, sebagai mahasiswa angkatan 2008, secara normal seharusnya saya sudah melakukan KKN tahun lalu (2011). Tapi, apa boleh buat? Nasi sudah menjadi intip. Asal tidak intip masa lalu untuk kemudian menyesali hal yang sudah tidak perlu. Well, bagaimanapun juga saya harus KKN tahun ini.

Sebagai mahasiswa yang tidak berkecimpung dalam dunia UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa), portal akademik menjadi sumber informasi utama bagi saya dalam mencari kelompok KKN. Dan entah mengapa saya hanya mencari kelompok yang akan mengadakan KKN di luar Jawa, bukan sekedar luar Jogja. Mulai dari Lombok, Bima, Bali, Bangka, Belitung, Riau, Padang, dan beberapa daerah lain. Dari beberapa postingan yang ada, saya hanya fokus pada beberapa hal seperti lokasi, tema, dan contact person (cp). Saya tidak melihat pada jurusan atau kluster mana yang mereka cari, karena saya tidak yakin antropologi tertulis di dalamnya (btw, antropologi adalah jurusan saya, belum pernah dengar? Bisa dimaklumi). Saya hanya berniat untuk menghubungi nomor-nomor yang sudah tersimpan, menyampaikan maksud, berharap ada yang tertarik. Minimal sms saya dibalas. Dari beberapa nomor yang saya hubungi, jawaban mereka rata-rata sama: sudah penuh, atau sudah banyak yang dari kluster sosio humaniora (selanjutnya kita sebut saja soshum). Tapi itu tidak semuanya, karena ternyata ada yang tertarik, salah satunya adalah tim KKN Bangka.


Desember 2011... atau November ya? Ah saya tidak terlalu ingat, yang jelas di penghujung tahun itu sebenarnya saya sudah mulai mencari.
Tersebutlah seorang kawan gelap (karena kulitnya memang gelap, konon lebih gelap dari bayangannya) yang bernama Galeh. Remaja paruh b(u)aya yang cukup akrab dengan saya (ada yang bilang bahwa jika ingin terlihat tampan, bergaul saja dengan orang yang kurang tampan). Sama halnya dengan saya, Galeh ini juga sedang sibuk mencari kelompok KKN dan dia sudah selangkah lebih maju. Ada satu kelompok, yang membuatnya tertarik dan kemudian mengajak saya untuk ikut serta. Kabarnya kelompok ini akan melaksanakan KKN di Pulau Lombok. Hmm, sepertinya menarik.


Beberapa waktu setelah saya tidak jadi bergabung di tim KKN Lombok.

Ada seorang teman, sebut saja Ali (nama sebenarnya, dan percaya atau tidak ini adalah nama panggilan sekaligus nama lengkapnya) mengajak saya untuk bergabung bersama tim KKN-nya. Ajakan ini dia tawarkan karena seorang yang lain (mahasiswa antropologi juga) mengundurkan diri. Untuk kelompok yang satu ini, mereka dipimpin oleh seorang mahasiswa kehutanan bernama Kojiro Yugo. Dan, tempat yang menjadi tujuan KKN adalah suatu daerah di Bima, Nusa Tenggara Barat. Kelompok ini sepertinya sudah cukup matang dari segi persiapan. Hal inilah yang membuat saya tanpa pikir panjang segera menghubungi pemimpin mereka dan menjadwalkan pertemuan.

Gagal, adalah keberhasilan yang tertunda. Berhasil, adalah kegagalan yang terlewati.
Sepertinya saya harus menunda kunjungan ke wilayah Indonesia tengah (Lombok dan Bima, red) dengan dua alasan yang berbeda. Kelompok KKN dari Bima secara halus menolak, karena anggota mereka dirasa sudah cukup, terutama untuk kluster soshum. Sementara tim Lombok, saya sendiri yang mengurungkan niat untuk bergabung. Alasannya sederhana, kelompok tersebut masih baru terbentuk dan belum memiliki struktur kepengurusan inti selain ketua.


Februari 2012, minggu ke-dua.

Saya mulai menghubungi seseorang yang mengaku sebagai Muti, melalui layanan pesan singkat. Tanpa ba bi bu, saya mengutarakan ketertarikan pada tim KKN ini setelah membaca infonya dari portal akademik. Alhamdulillah, dia membalas ketertarikan saya dengan menjadwalkan sebuah pertemuan di Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM.


14 Februari 2012, the judgement day.
Sebuah pesan singkat masuk di ponsel saya, dari Muti. Isinya kurang lebih, menyampaikan bahwa pertemuan akan dilangsungkan di balairung, salah satu sudut di gedung pusat UGM. Sebuah tempat yang pada saat itu belum terlalu familiar untuk saya. Karena jaraknya yang saya pikir masih dekat dari Fakultas Ilmu Budaya (FIB), maka saya putuskan untuk berjalan kaki saja. Dan setelah mengikuti petunjuk dari Muti melalui sms, sampailah saya di sebuah forum kecil di sudut barat gedung pusat sayap selatan. Suasana yang tidak saya bayangkan sebelumnya, karena saya pikir hanya akan bertemu dengan satu atau dua orang saja untuk sesi wawancara. Ternyata, langsung satu tim yang kebetulan juga sedang ada agenda rapat sepertinya. Tujuan awal saya sebenarnya bukan untuk langsung bergabung, karena ada kelompok lain juga yang mempersilakan saya jika tertarik. Niatnya melihat-lihat, berkenalan, eh mereka langsung menerima. Namun hal tersebut bukan masalah, lantaran sambutan yang diberikan mereka cukup hangat.
 Layaknya anggota baru dalam sebuah kelompok, saya dipersilakan memperkenalkan diri. Mulai dari nama, asal, jurusan, hobi, hingga motivasi bergabung dalam kelompok ini. Kelompok yang menamakan diri sebagai SEMUT, akronim dari Sehat, Elok, Mandiri, imUT.
Toss!

Selasa, 19 Juni 2012

Pantai Tahun Baru

lanjutan dari malam tahun baru

1 Januari 2012, kira – kira sudah lebih dari jam 4 pagi ketika saya mendengar suara – suara yang membuat tidur saya terganggu. Terpaksa saya membuka mata dan melihat bahwa yang lain sudah bangun (meskipun saya yakin mereka masih sangat mengantuk). Tidak dapat dipungkiri bahwa bantal dan guling menjadi teman erat saat udara dingin. Meskipun semua bangun, seperti tak ada yang bersemangat untuk beraktivitas pagi itu. Saya sempat berpikir untuk membatalkan rencana ke pantai karena tidak mungkin lagi untuk mengejar sunrise. Endang yang biasanya bersemangat pun ingin kembali tidur jika Heppi tidak segera menyingkirkan bantal dan selimut dari jangkauannya. Akhirnya setelah hampir jam 5, semua mampu berdiri, membereskan tempat, cuci muka, dan bersiap. Matahari sudah mengintip dari singgasananya, membuat kita memaksakan untuk segera bergegas. Setelah mengambil kamera, saya langsung mengeluarkan motor dan memanasinya. Tidak sempat saya berpamitan pada orang tua, karena mereka masih terlelap. Hanya pesan singkat yang saya kirim seiring melajunya kendaraan masing – masing menuju arah matahari terbit.
Sebagai orang dengan navigasi yang tidak terlalu baik, saya mempersilakan Arjo dan Andi untuk memimpin rombongan. Saya sendiri lebih suka di belakang mengawasi rombongan agar tidak tercecer (padahal cuma 4 motor). Kalau tidak salah di tengah perjalanan ini kita berhenti di pom bensin 2 kali, mengisi 3 motor teman saya, sementara motor saya sendiri dalam keadaan full dari awal perjalanan. Sempat juga berhenti di indomaret karena Endang akan mengambil uang di ATM yang ada didekatnya. Perjalanan dilanjutkan melewati kota Wonosari. Setelah mengikuti beberapa petunjuk yang ada, tibalah kita di pantai Indrayanti sekitar jam 8 pagi.


Ini adalah kali pertama saya menginjakkan kaki di pantai Indrayanti. Pantainya sudah dikelola sebagai tempat wisata, dan pagi itu nampak sangat ramai oleh wisatawan lokal. Di pinggir pantai terdapat beberapa shelter berupa gazebo yang disediakan untuk beristirahat. Ada juga kamar – kamar yang disewakan untuk mereka yang ingin menginap. Namun sayangnya, potensi yang cukup ramai ini tidak didukung dengan pengelolaan lingkungan yang baik. Saya masih melihat beberapa sampah berserakan di sepanjang pantai, dan tidak nampak petugas kebersihan yang berjaga di sekitarnya. Ramainya suasana pagi itu membuat kita tidak terlalu leluasa untuk bermain. Hanya sekedar melihat – lihat pemandangan serta mengabadikan beberapa gambar. Lalu saya melihat sebuah tebing yang cukup besar di tepi pantai yang nampaknya susah didaki, karena tidak ada orang di atasnya. Namun Arjo tidak setuju dengan pendapat saya dan mengajak untuk mencoba mendaki tebing bebatuan tersebut. Saya juga mengajak Andi, namun dia menolak dengan alasan yang sudah bisa saya maklumi. Saya dan Arjo segera berlari menuju tebing tersebut. Dan memang, setelah berada di bawahnya saya merasa bahwa akan sangat sulit untuk mendakinya. Arjo yang merupakan pendaki gunung saya persilakan naik lebih dulu, sementara saya mengamati dari bawah. Dengan cukup cekatan Arjo mulai menapaki tebing tersebut, mencari pijakan yang pas dan segera sampai di atas. Tibalah giliran saya, namun saya sempat ragu melihat medan yang cukup licin. Entah mengapa saya bisa melihat medan yang licin, padahal saya tidak sedang berada di medan (halah). Saya mengatakan pada Arjo bahwa sandal yang saya pakai tidak cocok untuk medan yang licin (bukan alasan). Akhirnya saya memutuskan untuk melepas sandal dan menaruhnya di antara bebatuan pantai. Perlahan saya mulai mendaki tebing tersebut tanpa beralaskan kaki. Cukup sakit memang karena bebatuannya cukup tajam, namun itu lebih baik daripada menggunakan sandal yang licin. Dengan mengikuti petunjuk yang diberikan oleh Arjo dari atas, akhirnya saya mampu mencapai atas tebing. Dari atas tebing saya sempat mengambil beberapa gambar pemandangan di pantai. Semua orang di bawah nampak kecil di mata saya yang berada di atas tebing.



Endang dan Bewanti yang menghampiri pun tidak jadi naik setelah melihat keadaan tebing yang licin dan curam. Setelah merasa cukup melihat pemandangan dari atas, saya dan Arjo memutuskan untuk kembali menginjak bumi. Pada saat akan turun ini ternyata nampak lebih susah daripada saat mendaki. Posisi mundur membuat saya ngeri dan sekuat mungkin menggenggam batuan agar tidak terjatuh.
Tidak banyak yang kami lakukan di pantai Indrayanti tersebut. Banyaknya pengunjung pagi hari itu membuat kami memutuskan untuk tidak berlama – lama disana dan segera beranjak pergi. Bukan untuk pulang, namun mencari pantai lain yang mungkin lebih sepi. Dan memang sebelumnya, saat perjalanan kami sempat melihat sebuah papan petunjuk yang bertuliskan 'Pantai Pok Tunggal' dengan keterangan 1 km. Setelah membayar uang parkir sejumlah 3 ribu rupiah, kami segera pergi meninggalkan pantai Indrayanti. Melalui jalan yang ditempuh sebelumnya, kali ini sambil memperhatikan petunjuk untuk ke pantai selanjutnya. Tidak lama untuk sampai di persimpangan tersebut, dan kami segera berbelok mengikuti arah yang menunjukkan dimana pantai Pok Tunggal masih 1 km lagi.
Jalan yang menuju ke pantai ini bukanlah jalan utama, namun hanyalah jalan kecil berbatu yang mungkin hanya mampu dilewati 1 mobil saja. Di sebelah kanan adalah tebing, sementara di kiri adalah kebun, ladang dan sawah. Saya tidak terlalu menikmati jalanan berbatu ini, sehingga saya menjadi yang paling belakang di antara yang lain. Ternyata jarak pantai tidak benar – benar 1 km seperti yang tertulis, kalau tidak salah jaraknya adalah 1 km lebih 400 meter. Dan benar saja, meskipun saat itu ada 1 rombongan yang sepertinya baru saja berkemah di tepi pantai, namun secara keseluruhan pantai tersebut belum ramai dan belum dikelola secara baik oleh warga sekitar maupun pemerintah.


Mungkin disinilah kita bisa benar – benar menikmati suasana pantai dan suasana liburan tahun baru. Saya juga bisa merasakan sensasi dinginnya air laut siang itu dan juga deburan ombak yang berguling (halah,, uopoh..). Seperti biasa, foto – foto narsis tidak lupa menjadi agenda wajib hari itu. Dan semoga saja foto – foto tersebut tidak mengganggu pemandangan indah di pantai yang sudah ada.




Ketika matahari semakin menyengat, rasa lelah mulai hinggap, kita memutuskan untuk segera beranjak pulang, sebelum senja menjelang, dan mentari perlahan menghilang (kalimat ini tidak perlu ditertawakan). Perjalanan pulang ini sepertinya akan terasa melelahkan. Namun karena sejak pagi tadi perut belum terisi, maka kita menyempatkan untuk mencari makan di jalan. Saya pikir tidak masuk akal jika harus mencari makan di jalan, maka akhirnya kita membeli makan di sebuah warung di pinggir jalan. Dan warung yang menjadi tujuan siang itu adalah warung mie ayam! Makanan ini sepertinya semakin akrab di perut saya dan teman – teman. Hahaha... (sayang gak ada foto – foto di mie ayam).
Setelah merasa kenyang, perjalanan pun dilanjutkan. Kali ini yang memimpin adalah Endang yang mengusulkan untuk lewat jalan alternatif yang tembus ke Bantul, daerah kekuasaannya. Di sepanjang perjalanan yang berliku ini penyakit kantuk saya mulai kambuh. Beberapa kali saya memejamkan mata sambil tetap melajukan kendaraan di jalanan. Sempat berhenti di tengah jalan (pinggir jalan ding) untuk sekedar beristirahat dan (tetap) mengambil beberapa gambar.


Perjalanan panjang ini akhirnya mencapai tujuannya (lebih tepatnya transit) di daerah Bakulan, Bantul (tempat tinggal juragan Endang). Tuan rumah menyambut baik dengan menghidangkan sekedar minuman dan mengeluarkan kasur untuk istirahat. Tanpa basa – basi, tubuh yang capek dan mata yang mengantuk ini segera terbaring lemah dan dengan cepat terlelap. Satu jam lebih saya tertidur, dan waktu dengan cepat berlalu. Setelah merasa cukup bugar, kita (kecuali Endang) melanjutkan perjalanan pulang ke rumah masing – masing. Hujan yang sangat deras menjadi backsound perjalanan pulang kita sore itu. Kira – kira menjelang magrib saya tiba di rumah. Wow! 24 jam lebih ternyata saya menghabiskan agenda liburan tahun baru bersama teman – teman. Kebersamaan yang membuat waktu seakan berjalan lebih cepat. Namun ini hanyalah secuil cerita yang selalu luar biasa, dan saya harap akan muncul cerita – cerita baru yang mengiringi perjalanan kita menuju usia dewasa (hahaha, sok melankolis). Sampai jumpa di cerita – cerita selanjutnya yang tentu akan semakin seru...




(foto oleh: Endang, Heppi, Arjo, Gilang, Andi, JMX)

Sabtu, 02 Juni 2012

Malam Tahun Baru 2012

31 Desember 2011, penghujung tahun dimana orang - orang mulai sibuk untuk menyiapkan acara apa yang akan dilakukan menyambut tahun baru. Begitu juga dengan saya yang berencana menghabiskan malam tahun baru bersama teman - teman. Rencana yang sebenarnya sangat mendadak, karena kita memang terbiasa dengan segala sesuatu yang mepet. Rencana awal adalah pergi ke rumah salah satu teman saya yang bernama Arjo di daerah Ngemplak, jalan kaliurang. Bahkan sampai jam 3 sore ketika beberapa sudah berkumpul di kampus, acara tetap akan berlangsung di rumah Arjo. Hingga sampai Arjo mendapat kabar bahwa di rumahnya akan diadakan acara ibu - ibu di desanya (kalau tidak salah arisan). Segera saja saya dan teman - teman berpikir untuk mengganti venue acara malam itu, meskipun masih mungkin acara di tempat Arjo, dengan makanan yang pasti sudah disiapkan. Akhirnya saya mengajukan untuk menjadi tuan rumah, karena memang di tahun - tahun sebelumnya saya sering mengadakan pesta malam tahun baru di rumah bersama kelurga atau teman SMA pada saat itu. Hari itu saya juga sudah mempersiapkan jagung satu karung untuk dibakar.
Setelah menunggu sampai hampir jam 5 sore, semuanya kumpul juga di kampus. Kali ini personel yang akan meramaikan acara malam tahun baru adalah Arjo, Gilang, Heppi, Endang, Bewanti, Andi, dan saya sendiri. Berangkatlah kita menuju TKP, tapi sebelumnya ada request dari mbok Endang untuk mencari makan dulu, di dekat rumah saya. Setelah berpikir cukup lama, saya putuskan untuk makan di sebuah warung yang berlabel 'Kandang Lombok' di jalan Soragan (sekitar 1,5 km dari rumah saya).
Kurang lebih sudah hampir jam 7 malam ketika sampai di rumah saya. Acara inti malam ini sebenarnya tidak benar - benar di rumah saya, namun di sebuah joglo dan gazebo milik saudara saya yang kebetulan rumahnya bersebelahan dengan rumah saya. Setelah sedikit berbasa - basi sambil menyruput minuman seadanya, kita segera membawa peralatan untuk bebakaran yang sudah saya siapkan sebelumnya. Sekarung jagung segera saya keluarkan untuk kita bakar menyambut malam tahun baru 2012. Jagung ini memang saya beli untuk berjaga - jaga jika akan ada acara seperti ini. Setelah arang memenuhi anglo, Arjo sang 'menwa' segera menunjukkan aksinya untuk menyalakan api. Namun cukup cukup lama juga api tidak segera menyala. Bahkan minyak tanah pun belum cukup membantu. Tidak putus asa, saya dan Andi membantu dengan menyiapkan kertas kardus untuk dibakar sebagai pemicu.


Tak sia - sia kita menunggu lama dan mencoba berbagai cara. Api pun menyala, membara, menghangatkan dinginnya malam itu di tengah canda dan tawa. Segeralah Arjo mengatur api agar lebih merata, sementara itu Endang dan yang lain menyiapkan bumbu dan jagung yang akan dibakar.


Tanpa berlama - lama, jagung pun dibakar satu per satu. Sambil menunggu jagung yang matang, keluarlah satu pak kartu yang mulai menjadi teman akrab kita saat berkumpul sejak malam itu. Sebelum bermain, Heppi menyempatkan untuk menelpon Ali, salah seorang teman asli Timur Tengah yang tidak bisa ikut acara di rumah saya karena sedang mudik ke Pati, tempat tinggalnya setelah migrasi ke Indonesia. Dengan mode 'loudspeaker' semua berebut untuk berbicara dengan Ali dan ingin tau apa yang dilakukannya dalam rangka menyambut tahun baru 2012 ini. Setelah tau bahwa Ali akan menghabiskan malam itu dengan ditemani Peter Parker alias 'cuma' nonton film Spiderman, kita semua langsung tertawa sambil 'memamerkan' apa yang sedang terjadi di rumah saya. Setelah puas dengan Ali, kita melanjutkan untuk bermain kartu. Permainan favorit waktu itu adalah empat satu. Permainan yang membutuhkan perhitungan dan keputusan cepat. Dan namanya juga permainan, selalu ada yang menang dan kalah. Untuk hukumannya, disiapkanlah bedak untuk mencoreng muka mereka yang kalah. Hingga tak jarang menimbulkan perdebatan ketika ada yang merasa dirugikan karena sering kalah (siapa ya?).


Setelah melewati beberapa putaran, nampaklah siapa yang paling sering kalah dan siapa yang cukup beruntung mendapat sedikit coreng di wajah. Hingga saat itu juga tak terasa waktu sudah mendekati tengah malam. Permainan kartu diakhiri seiring terdengarnya letupan kembang api dari berbagai penjuru desa. Rumah saya yang terletak di depan sawah memungkinkan untuk menikmati pemandangan berbagai kembang api tersebut. Dari utara, timur, barat, hingga selatan, semua berlomba untuk memeriahkan malam penghujung tahun itu. Tak terkecuali di tempat saya yang juga ikut menyalakan kembang api dari yang kecil dilempar, sampai yang menjulang tinggi menembus awan yang menjadi tanda berakhirnya tahun 2011. Happy New Year!! :D


Berakhirnya tahun 2011 juga menandakan berakhirnya aktivitas malam itu. Lapak kartu sudah ditutup, jagung bakar sudah termakan, tinggal sedikit nyala api yang masih setia menghangatkan obrolan. Hingga muncul rencana dadakan (lagi) untuk pergi ke pantai pagi harinya. Gila?! Ya, teman - teman saya memang sudah gila semua. Sudah dini hari merencanakan pergi ke pantai menjelang subuh, berencana menjemput sunrise. Tapi kegilaan inilah yang membuat kita selalu memiliki cerita yang menyenangkan, dan saya juga memang sudah lama gila (LOL). Setelah sepakat, kita semua mulai membereskan barang - barang yang berantakan dan bersiap untuk tidur. Karena sudah sangat mengantuk dan tidak menyiapkan kamar sebelumnya, kita hanya tidur di joglo dan gazebo yang terbuka. Saya mengambil beberapa bantal dan selimut agar tidak kedinginan. Alarm pun sudah dinyalakan agar tidak telat bangun. Di tengah suara dengkuran teman yang sudah tidur, saya mendapat pesan singkat dari ibu saya yang menyruh untuk memasukkan motor teman - teman yang waktu itu masih di luar halaman rumah. Ada 3 motor waktu itu, dan semuanya sudah dikunci stang. Lalu saya melihat Gilang yang belum tidur, dan meminta kunci motor milik Arjo. Untuk 2 motor yang lain milik Andi dan Heppi saya tidak tau kuncinya mereka simpan dimana, karena sepertinya sudah pada tidur semua (meskipun ternyata Andi belum tidur, namun hanya pura - pura tidur). Terpaksa saya menggunakan jurus tukang parkir malioboro untuk memindahkan kedua motor tersebut dalam keadaan terkunci. Sukses! Setidaknya motor berada di dalam wilayah rumah saya dengan cukup dilindungi pagar. Saya pun sudah cukup tenang untuk melanjutkan tidur. Lalu, apakah rencana menjemput sunrise di pantai akan terwujud? Tunggu saja cerita selanjutnya...

bersambung...




(foto by. Endang, Heppi)