Semester
genap tahun 2010. Itu adalah semester ke empat saya berkuliah di jurusan yang anda tuju sedang sibuk Antropologi Budaya UGM, jogja. Sesuai jadwal / tradisi / aturan / program di
jurusan saya tersebut, semester ini merupakan saatnya bagi angkatan saya (2008)
untuk membentuk Tim Penelitian Lapangan (TPL) di libur akhir semester (sekitar
bulan Juli). TPL ini wajib, setidaknya satu kali selama menjalani masa
perkuliahan. Penelitian ini menjadi sayarat untuk menempuh salah satu
matakuliah wajib, yaitu Praktek Penelitian Lapangan (PPL). Sebelumnya saya
sudah mengikuti TPL satu kali pada Januari 2010 di daerah Pekalongan selama
lebih kurang 2 minggu. Bedanya, untuk TPL yang diadakan pada libur akhir
semester genap akan lebih lama yaitu sekitar satu bulan. Untuk itu persiapan
perlu dilakukan dengan lebih baik. Dan, tujuan yang menjadi pilihan untuk
penelitian kali ini adalah suatu tempat yang jauh di sebrang: Kalimantan.
Tepatnya di Kalimantan Barat.
Sebuah
tempat yang belum pernah terpikir bagi saya untuk mengunjunginya dalam waktu dekat.
Sebuah tempat di luar zona nyaman saya selama ini. Ya, selama 20 tahun lebih
kehidupan saya hanya berputar-putar di sekitaran jogja. Dari waktu mbrojol di
rumah sakit bethesda, sampai kuliah di UGM, kota gudeg menjadi saksi bagaimana
saya menjomblo berproses. Hingga tiba saatnya untuk siap melangkah keluar, melihat
kehidupan yang berbeda. Bagi beberapa teman saya yang berasal dari berbagai
daerah luar Jawa, merantau mungkin sudah tak asing lagi. Tapi bagi saya ini
jelas menjadi awal yang baru.
Kamis,
1 Juli 2010
Pagi-pagi
sekali saya sudah harus bangun, demi tidak ketinggalan pesawat yang akan
mengantarkan saya menuju petualangan baru. Pagi itu, saya ingat betul, di
tengah mempersiapkan segala amunisi, saya menyempatkan untuk online sejenak
mengunjungi facebook. Pada tahun-tahun itu, update status masih menjadi semacam
ritual bagi saya sebelum melakukan sesuatu (setelah dua tahun terakhir ini saya
menilai bahwa update status terlalu sering itu sungguh memuakkan). Terlebih
sebuah perjalanan jauh ini. Tidak ingat pasti apa yang saya ucapkan (malas juga
scroll facebook ngecek status lebih dari 4 tahun lalu), yang jelas semacam
basa-basi perpisahan dengan kekasih kota jogja yang saya cintai ini.
Dan, kemungkinan untuk tidak dapat meng-update akun facebook selama sebulan ke
depan, karena sedikit banyak saya sudah mendapat informasi bahwa sinyal disana
sangat susah. Setelah dirasa cukup, mengecek segala persiapan, berpamitan,
segeralah saya beranjak menuju Bandara Adi Soetjipto Yogyakarta.
Dibutuhkan
waktu kurang lebih 20 menit (jika lancar) untuk mencapai bandara dari rumah.
Tidak ingat pasti, mungkin ini kali pertama saya mengunjungi bandara sebagai
seorang calon penumpang. Selama ini saya memang hanya berkutat dengan
perjalanan darat, sesekali di air sekedar menyebrang.
Suasana
bandara pagi itu sudah cukup ramai. Beberapa kawan sudah terlihat hadir, dengan
identitas yang hampir seragam: kaos TPL. Kaos lengan panjang berwarna coklat
gelap dengan gambar (yang katanya) burung enggang warna kuning di bagian dada
kiri. Tidak ketinggalan tulisan universitas sebagai identitas akademisi[1].
Cukup oke. Terlebih, waktu itu saya juga mengenakan topi a la Indiana Jones
(yang kemudian hilang pada ekspedisi tahun berikutnya). Dengan seabrek tas
bawaan berisi amunisi, dan semangat berapi-api, pasukan Dr. Pujo Semedi[2]
siap menempuh ekspedisi. Rombongan yang berjumlah mencapai 60an orang ini
kemudian segera check in, mengurus bagasi, dan menunggu penerbangan yang
dijadwalkan pukul 9.30 WIB. Dengan sedikit keterlambatan, akhirnya sekitar jam
10 terbang juga pesawat yang kita tumpangi.
Setelah
lebih kurang 90 menit berada di udara, akhirnya pesawat mendarat juga di Bandar
Udara Supadio, Pontianak. Tidak ada perbedaan waktu antara Jogja dengan
Pontianak. Suhu udara pada waktu itu berkisar pada 31 derajat celcius, begitu
menurut keterangan yang diberikan oleh pramugari. Turun dari pesawat, disambut
dengan suasana yang sangat berbeda. Udara pada saat itu mungkin tidak lebih
panas dari di Jogja, tapi saya merasa cuku menyengat dan sedikit lembab. Saya
merasa di beberapa bagian tubuh menjadi gatal, meskipun hal tersebut tidak
mengkhawatirkan karena tidak lama untuk kemudian beradaptasi. Masuk ke dalam
bandara, suasana terlihat berbeda jika dibandingkan dengan bandara Adi
Soetjipto di Jogja. Bandara yang tidak terlalu padat, dengan fasilitas yang
juga bisa dibilang biasa-biasa saja. Setelah mengambil tas dari bagasi, saya
segera keluar mencoba menghirup udara yang lebih segar. Di luar, kita sudah
dituggu oleh dua teman sesama mahasiswa Antro UGM yaitu Zerry dan mbak Anti.
Mereka berdua memang lebih awal berada di Kalimantan untuk melakukan survei
serta membantu mengurus perijinan. Dari bandara, rombongan segera dikondisikan
untuk menuju ke sebuah dermaga yang katanya tidak jauh lokasinya. Sebelumnya,
panitia menyiapkan beberapa mobil untuk membantu meringankan barang bawaan
peserta. Mobil yang disiapkan hanya menampung tas-tas besar dan beberapa
peserta (terutama perempuan). Sedangkan yang lain, termasuk saya akan menuju
dermaga dengan berjalan kaki.
Jarak dari
bandara menuju ke dermaga diperkirakan mencapai lebih kurang 1,5 km. Pemandangan
berbeda mulai di jumpai di perkampungan warga yang kita lewati. Bangunan fisik
rumah yang sebagian besar menggunakan kayu, dengan konsep rumah panggung. Rumah-rumah
yang nampak sederhana, dengan halaman yang cukup, dan hampir setiap rumah
memiliki teras. Di tengah perkampungan tersebut saya menyempatkan diri mampir
ke sebuah tempat fotokopi untuk memperbanyak KTP dan surat perijinan, sekedar
untuk berjaga-jaga. Akhirnya setelah berjalan kurang dari 30 menit sampailah
kita di sebuah dermaga yang kemudian saya tahu bernama Dermaga Sungai Durian. Sebuah
dermaga yang tidak terlalu besar, dengan pemandangan sungai dan beberapa perahu
nelayan yang sedang bersandar.
Waktu itu
sekitar jam setengah satu siang. Panitia sudah menyediakan makan siang berupa
nasi bungkus untuk semua rombongan peserta. Kita segera mencari tempat
masing-masing untuk menikmati makan siang tersebut. Dan saya memilih sebuah
warung kecil yang berada tepat di ujung dermaga, pinggir sungai. Makan siang
sambil menikmati pemandangan sungai dengan sesekali perahu yang lewat. Selesai makan,
belum ada tanda-tanda perahu yang ditunggu. Saya kemudian memutuskan untuk
singgah sejenak di sebuah masjid, tidak jauh dari dermaga.
Selepas
dari masjid, saya kembali bergabung dengan rombongan yang masih menunggu perahu
datang. Beberapa orang mengobrol asyik di pinggir sungai, beberapa mengambil
gambar, dan tidak sedikit yang mulai lelah menunggu. Gerimis sempat turun
beberpa kali, membuat kita semakin tak sabar menanti. Mulai dari yang
mondar-mandir tidak jelas,hingga ada yang tertidur bersandar di sebuah pohon
pinggir dermaga.
Kira-kira
hampir jam 2 siang, ketika sebuah perahu kayu yang cukup besar mulai menurunkan
laju dan merapat ke dermaga sebelum kemudian berhenti. Suara perahu yang
memecahkan keheningan siang itu sontak membuat kita semua yang sudah menunggu
segera menyambut dengan antusias. Sambil menunngu perahu menurunkan penumpang
dan muatan lain, kita mulai menyiapkan tas masing-masing.
Satu per
satu peserta mulai masuk ke dalam perahu, menata barang bawaan, keudian mencari
tempat duduk. Perahu ini cukup untuk menampung semua peserta beserta barang
bawaan masing-masing yang tentu saja tidak sedikit. Tas-tas besar ditata rapi
di bagian tengah perahu, sementara tempat duduk berada di bagian samping kanan
dan kiri, memanjang dari depan hingga belakang. Tidak lama perahu segera
bersiap untuk berangkat. Perlahan, meninggalkan dermaga dan mulai menyusuri
sungai Kapuas. Perjalanan panjang yang menjadi awal dari petualangan kita pada
waktu itu.
Borneo!
Borneo!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar