Minggu, 01 Maret 2015

Touchdown Borneo!

Semester genap tahun 2010. Itu adalah semester ke empat saya berkuliah di jurusan yang anda tuju sedang sibuk Antropologi Budaya UGM, jogja. Sesuai jadwal / tradisi / aturan / program di jurusan saya tersebut, semester ini merupakan saatnya bagi angkatan saya (2008) untuk membentuk Tim Penelitian Lapangan (TPL) di libur akhir semester (sekitar bulan Juli). TPL ini wajib, setidaknya satu kali selama menjalani masa perkuliahan. Penelitian ini menjadi sayarat untuk menempuh salah satu matakuliah wajib, yaitu Praktek Penelitian Lapangan (PPL). Sebelumnya saya sudah mengikuti TPL satu kali pada Januari 2010 di daerah Pekalongan selama lebih kurang 2 minggu. Bedanya, untuk TPL yang diadakan pada libur akhir semester genap akan lebih lama yaitu sekitar satu bulan. Untuk itu persiapan perlu dilakukan dengan lebih baik. Dan, tujuan yang menjadi pilihan untuk penelitian kali ini adalah suatu tempat yang jauh di sebrang: Kalimantan. Tepatnya di Kalimantan Barat.

Sebuah tempat yang belum pernah terpikir bagi saya untuk mengunjunginya dalam waktu dekat. Sebuah tempat di luar zona nyaman saya selama ini. Ya, selama 20 tahun lebih kehidupan saya hanya berputar-putar di sekitaran jogja. Dari waktu mbrojol di rumah sakit bethesda, sampai kuliah di UGM, kota gudeg menjadi saksi bagaimana saya menjomblo berproses. Hingga tiba saatnya untuk siap melangkah keluar, melihat kehidupan yang berbeda. Bagi beberapa teman saya yang berasal dari berbagai daerah luar Jawa, merantau mungkin sudah tak asing lagi. Tapi bagi saya ini jelas menjadi awal yang baru.


Kamis, 1 Juli 2010

Pagi-pagi sekali saya sudah harus bangun, demi tidak ketinggalan pesawat yang akan mengantarkan saya menuju petualangan baru. Pagi itu, saya ingat betul, di tengah mempersiapkan segala amunisi, saya menyempatkan untuk online sejenak mengunjungi facebook. Pada tahun-tahun itu, update status masih menjadi semacam ritual bagi saya sebelum melakukan sesuatu (setelah dua tahun terakhir ini saya menilai bahwa update status terlalu sering itu sungguh memuakkan). Terlebih sebuah perjalanan jauh ini. Tidak ingat pasti apa yang saya ucapkan (malas juga scroll facebook ngecek status lebih dari 4 tahun lalu), yang jelas semacam basa-basi perpisahan dengan kekasih kota jogja yang saya cintai ini. Dan, kemungkinan untuk tidak dapat meng-update akun facebook selama sebulan ke depan, karena sedikit banyak saya sudah mendapat informasi bahwa sinyal disana sangat susah. Setelah dirasa cukup, mengecek segala persiapan, berpamitan, segeralah saya beranjak menuju Bandara Adi Soetjipto Yogyakarta.

Dibutuhkan waktu kurang lebih 20 menit (jika lancar) untuk mencapai bandara dari rumah. Tidak ingat pasti, mungkin ini kali pertama saya mengunjungi bandara sebagai seorang calon penumpang. Selama ini saya memang hanya berkutat dengan perjalanan darat, sesekali di air sekedar menyebrang.

Suasana bandara pagi itu sudah cukup ramai. Beberapa kawan sudah terlihat hadir, dengan identitas yang hampir seragam: kaos TPL. Kaos lengan panjang berwarna coklat gelap dengan gambar (yang katanya) burung enggang warna kuning di bagian dada kiri. Tidak ketinggalan tulisan universitas sebagai identitas akademisi[1]. Cukup oke. Terlebih, waktu itu saya juga mengenakan topi a la Indiana Jones (yang kemudian hilang pada ekspedisi tahun berikutnya). Dengan seabrek tas bawaan berisi amunisi, dan semangat berapi-api, pasukan Dr. Pujo Semedi[2] siap menempuh ekspedisi. Rombongan yang berjumlah mencapai 60an orang ini kemudian segera check in, mengurus bagasi, dan menunggu penerbangan yang dijadwalkan pukul 9.30 WIB. Dengan sedikit keterlambatan, akhirnya sekitar jam 10 terbang juga pesawat yang kita tumpangi.

Setelah lebih kurang 90 menit berada di udara, akhirnya pesawat mendarat juga di Bandar Udara Supadio, Pontianak. Tidak ada perbedaan waktu antara Jogja dengan Pontianak. Suhu udara pada waktu itu berkisar pada 31 derajat celcius, begitu menurut keterangan yang diberikan oleh pramugari. Turun dari pesawat, disambut dengan suasana yang sangat berbeda. Udara pada saat itu mungkin tidak lebih panas dari di Jogja, tapi saya merasa cuku menyengat dan sedikit lembab. Saya merasa di beberapa bagian tubuh menjadi gatal, meskipun hal tersebut tidak mengkhawatirkan karena tidak lama untuk kemudian beradaptasi. Masuk ke dalam bandara, suasana terlihat berbeda jika dibandingkan dengan bandara Adi Soetjipto di Jogja. Bandara yang tidak terlalu padat, dengan fasilitas yang juga bisa dibilang biasa-biasa saja. Setelah mengambil tas dari bagasi, saya segera keluar mencoba menghirup udara yang lebih segar. Di luar, kita sudah dituggu oleh dua teman sesama mahasiswa Antro UGM yaitu Zerry dan mbak Anti. Mereka berdua memang lebih awal berada di Kalimantan untuk melakukan survei serta membantu mengurus perijinan. Dari bandara, rombongan segera dikondisikan untuk menuju ke sebuah dermaga yang katanya tidak jauh lokasinya. Sebelumnya, panitia menyiapkan beberapa mobil untuk membantu meringankan barang bawaan peserta. Mobil yang disiapkan hanya menampung tas-tas besar dan beberapa peserta (terutama perempuan). Sedangkan yang lain, termasuk saya akan menuju dermaga dengan berjalan kaki.

Jarak dari bandara menuju ke dermaga diperkirakan mencapai lebih kurang 1,5 km. Pemandangan berbeda mulai di jumpai di perkampungan warga yang kita lewati. Bangunan fisik rumah yang sebagian besar menggunakan kayu, dengan konsep rumah panggung. Rumah-rumah yang nampak sederhana, dengan halaman yang cukup, dan hampir setiap rumah memiliki teras. Di tengah perkampungan tersebut saya menyempatkan diri mampir ke sebuah tempat fotokopi untuk memperbanyak KTP dan surat perijinan, sekedar untuk berjaga-jaga. Akhirnya setelah berjalan kurang dari 30 menit sampailah kita di sebuah dermaga yang kemudian saya tahu bernama Dermaga Sungai Durian. Sebuah dermaga yang tidak terlalu besar, dengan pemandangan sungai dan beberapa perahu nelayan yang sedang bersandar.

Waktu itu sekitar jam setengah satu siang. Panitia sudah menyediakan makan siang berupa nasi bungkus untuk semua rombongan peserta. Kita segera mencari tempat masing-masing untuk menikmati makan siang tersebut. Dan saya memilih sebuah warung kecil yang berada tepat di ujung dermaga, pinggir sungai. Makan siang sambil menikmati pemandangan sungai dengan sesekali perahu yang lewat. Selesai makan, belum ada tanda-tanda perahu yang ditunggu. Saya kemudian memutuskan untuk singgah sejenak di sebuah masjid, tidak jauh dari dermaga.

Selepas dari masjid, saya kembali bergabung dengan rombongan yang masih menunggu perahu datang. Beberapa orang mengobrol asyik di pinggir sungai, beberapa mengambil gambar, dan tidak sedikit yang mulai lelah menunggu. Gerimis sempat turun beberpa kali, membuat kita semakin tak sabar menanti. Mulai dari yang mondar-mandir tidak jelas,hingga ada yang tertidur bersandar di sebuah pohon pinggir dermaga.

Kira-kira hampir jam 2 siang, ketika sebuah perahu kayu yang cukup besar mulai menurunkan laju dan merapat ke dermaga sebelum kemudian berhenti. Suara perahu yang memecahkan keheningan siang itu sontak membuat kita semua yang sudah menunggu segera menyambut dengan antusias. Sambil menunngu perahu menurunkan penumpang dan muatan lain, kita mulai menyiapkan tas masing-masing.
Satu per satu peserta mulai masuk ke dalam perahu, menata barang bawaan, keudian mencari tempat duduk. Perahu ini cukup untuk menampung semua peserta beserta barang bawaan masing-masing yang tentu saja tidak sedikit. Tas-tas besar ditata rapi di bagian tengah perahu, sementara tempat duduk berada di bagian samping kanan dan kiri, memanjang dari depan hingga belakang. Tidak lama perahu segera bersiap untuk berangkat. Perlahan, meninggalkan dermaga dan mulai menyusuri sungai Kapuas. Perjalanan panjang yang menjadi awal dari petualangan kita pada waktu itu.
Borneo!















[1] Peserta TPL terdiri dari mahasiswa UGM yang bekerja sama dengan mahasiswa dari Universitas Toronto Kanada, dan Universitas Leiden Belanda.
[2] Dosen lapangan yang memimpin langsung penelitian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar