Selasa, 17 Maret 2015

Sebut Saja Baladewa

Malam-malamku bagai malam seribu bintang,
Yang terbentang di angkasa bila kau disini,
Tuk sekedar menemani, tuk melintasi wangi,
Yang slalu tersaji di satu sisi hati…

Untuk kalian yang suka mendengarkan musik, pecinta musik, bait diatas mungkin sudah tidak asing lagi. Ya, karena bait diatas adalah lagu Indonesia, bukan lagu asing, apalagi ikan asing. Secuil bait diatas saya ambil dari jemuran tetangga sebuah lagu berjudul Roman Picisan, karya Dewa 19. Roman Picisan, yang secara harfiah bisa saya artikan sebagai kisah cinta murahan. Tetapi sesungguhnya lagu Roman Picisan bukanlah lagu murahan. Lagu tersebut menjadi salah satu hits di Indonesia pada saat memasuki millenium baru. Sebuah lagu yang juga membuat saya langsung jatuh hati saat itu juga, ketika saya masih duduk di bangku sekolah dasar. Bukan berarti saya tidak menyukai lagu anak-anak sebagaimana mestinya. Sebelumnya saya sudah akrab lebih dulu dengan lagu-lagu dari Trio Kwek-Kwek,  Bondan Prakosa, Eno Lerian, Joshua, Sogem, Nastel, hingga lagu-lagu original soundtrack kesatria baja hitam RX. Namun seiring bertambahnya usia, saya mulai menikmati lagu-lagu pop yang berceceran pada masa itu (90an), dan salah satunya adalah Dewa 19.

Mengapa harus Dewa 19?

Mengapa tidak? Memang di era 90an itu menjadi masa-masa keemasan bagi grup musik di Indonesia, terutama genre pop. Ada banyak grup musik yang sangat populer dan mampu menghasilkan karya luar biasa. Sebut saja diantaranya Gigi, Sheila on 7, Base Jam, Java Jive, Element, Stinky, dan masih banyak lagi. Namun dari sekian banyak referensi musik yang ada di Indonesia, saya memutuskan untuk menyukai Dewa 19. Entah bagaimana prosesnya, Roman Picisan mampu menghipnotis saya hingga terbawa untuk ikut menyanyikannya setiap kali lagu tersebut saya dengar. Perpaduan lirik dan melodi yang sangat luar biasa, dimana saya sendiri belum mengerti makna dari lagu tersebut. Saya juga belum tahu istilah baladewa, sebutan untuk para penggemar Dewa 19. Bahkan, yang lebih wakwaw lagi, saya juga belum mengenal betul, siapa itu Dewa 19, selain dua nama, Once dan Ahmad Dhani. Disitu kadang saya merasa asu sedih.
Hingga kemudian saya masuk ke jenjang Sekolah Menengah Pertama, saya mulai lebih dikenal sebagai salah seorang baladewa. Album keenam dari Dewa bertajuk Cintailah Cinta menjadi album pertama yang saya koleksi (dalam bentuk kaset pita). Dengan uang pemberian almarhum kakek, sebuah kaset yang dibanderol 20 ribu itu saya beli di toko kaset Bulletin, tidak jauh dari sekolah. Toko kaset yang keberadaannya sekarang sudah sangat langka. Sejak saat itu, hampir setiap hari saya memutarnya dengan radio tape kesayangan yang sampai saat ini masih berfungsi cukup baik. Satu per satu lagu saya hafal dengan sangat baik, tanpa terkecuali. Dan seiring berjalannya waktu, saya mulai melengkapi koleksi kaset Dewa 19 hingga saat ini mencapai 10 buah. Sudah semuanya saya dengar berkali-kali, dan bisa dikatakan 90% lebih saya hafal liriknya. Begitulah kira-kira cara saya dalam menikmati setiap karya dari Dewa 19. Selain itu saya juga mulai tahu siapa-siapa saja personel yang pernah mengisi Dewa 19, diantaranya ada Wawan, Erwin, Ari Lasso, Wong Aksan, Tyo Nugros, Once, Yuke, dan Agung. Hanya Andra dan Ahmad Dhani sediri, personel awal yang masih bertahan.


10 kaset original yang mulai saya koleksi pada tahun 2002

koleksi buku Manunggaling Dewa Ahmad Dhani
radio tape yang masih berfungsi sampai sekarang














Sebagai sebuah grup band besar, Dewa 19 tentu memiliki banyak penggemar (baladewa) dengan tipe yang beraneka macam. Sebagai salah satu di antara mereka, saya memahami bagaimana setiap baladewa selalu berupaya menunjukkan ekspresi kecintaan mereka terhadap Ahmad Dhani dan kawan-kawan. Mulai dari koleksi kaset, poster, kaos, foto, dan atribut lainnya. Mereka selalu ingin berada di baris paling depan setiap konser Dewa 19. Berteriak lantang, seolah ingin menunjukkan bagaimana lagu-lagu dari band asal Surabaya ini diingatnya dengan sempurna. Saya tahu betul, selain Slank yang memang sudah lebih dulu berkibar, Dewa 19 memiliki banyak baladewa sejati. Mungkin saya belum temasuk baladewa dengan label sejati tersebut. Hal itu bukan masalah, karena apa yang saya rasakan tentang Dewa 19 tidak butuh label, penghargan, atau apapnu itu dari orang lain.
Berbeda dengan kebanyakan baladewa, saya memang tidak memiliki koleksi banyak, selain kaset. Saya tidak mengkoleksi poster, pin, stiker, kliping, atau pernak-pernik lain yang bisa menunjukkan identitas sebagai baladewa. Cukuplah syair dari tembang-tembang yang mayoritas diciptakan PakDhe (sapaan khas baladewa untuk Ahmad Dhani) menghibur dan menemani perjalanan hidup saya. Beberapa konser yang digelar di Jogja juga pernah saya ikuti. Konser-konser outdoor dengan tiket murah, dan bahkan gratis yang tentu saja situasinya selalu padat. Belum pernah saya menonton konser yang lebih eksklusif dengan harga tiket yang pasti selangit. Ya, faktor ekonomi ini juga yang membuat saya menjadi baladewa yang lebih realistis, tidak muluk-muluk. Tanpa mengurangi apresiasi terhadap rekan-rekan baladewa lain yang selalu berjuang keras demi menonton Dewa 19, saya memang tipikal yang sederhana dan tidak ribet. Tetapi tetap saja, ada keinginan suatu saat dapat menyaksikan konser tunggal Dewa 19 meskipun hanya sebatas konser reuni. Semoga saja.

Apakah semua lagu dari Dewa 19 saya suka?

Tentu saja, tidak. Jujur, dari sekian banyak lagu Dewa 19, ada satu dua lagu yang saya ‘terpaksa’ ataupun ‘dipaksa’ suka. Setiap membeli kaset, tentu saya harus mendengarkan semua lagunya tanpa terkecuali. Dan dalam satu album tidak semuanya menjadi hits dan populer. Selalu saja ada setidaknya satu lagu dalam satu album yang tidak dikenal kecuali oleh baladewa. Wajar saja, karena perkembangan musik di Indonesia telah melahirkan banyak musisi, dan grup band hebat selain Dewa 19. Jika harus menyebut satu saja lagu yang kurang saya suka, mungkin itu adalah “Perempuan Paling Cantik Di Negeriku Indonesia”, sebuah single yang diluncurkan bersama artis lain selain Dewa 19. Mengapa? Karena lagu itu (dengan unsur musik techno yang cukup kental) terdengar aneh di telinga saya. Ah, mungkin memang selera musik saya yang kuno, tidak mengikuti perkembangan teknologi.

Tapi kalau lagu favorit ada kan?

Hmm, sebenarnya itu juga bukan pertanyaan yang mudah saya jawab. Dewa 19 bukanlah band kemarin sore yang hanya mencetak 1-2 album kemudian menghilang. Banyak sekali lagu-lagu dengan kualitas tinggi dihadirkan Ahmad Dhani. Beberapa di antaranya adalah Roman Picisan, Kangen, Kirana, Separuh Nafas, Dua Sejoli, Satu Hati, Pupus, dll. Tentu tidak mudah memilih salah satu dari sekian banyak lagu untuk dijadikan sebagai favorit. Namun jika harus, saya akan menyebut Separuh Nafas sebagai lagu yang sangat saya suka. Secara lirik mungkin tidak se-syahdu Kangen, dan se-romantis Roman Picisan. Tetapi musiknya-lah yang menjadi kekuatan di lagu ini. Dengan beat yang lebih cepat dari dua lagu sebelumnya, Separuh Nafas terdengar dinamis dan tidak akan bosan didengarkan. Setuju? Tentu tidak semua harus setuju, karena lagi-lagi ini mengenai selera.

Selain lagu, sepertinya tidak ada alasan kuat lain yang membuat saya mencintai Dewa 19. Karena pada awalnya memang dari mendengarkan lagunya, bukan dari melihat personelnya. Meskipun tidak jarang saya mengikuti berita mengenai personel Dewa, khususnya Ahmad Dhani. Banyak yang mengira, sebagai baladewa saya juga merupakan anak buah Ahmad Dhani. Maksudnya, apapun berita tentang Ahmad Dhani, penampilan, dukungan politik, (eh) juga saya ikuti. Jelas itu salah besar. Satu hal yang saya kagumi dari seorang Ahad Dhani adalah kejeniusannya dalam menciptakan lagu. Itu saja, tidak lebih. Selain itu mungkin juga gaya bicaranya yang terkesan arogan, hehehe. Tapi kalau masalah rumah tangga, saya tidak terlalu peduli. Bahkan saya termasuk yang kecewa atas perceraiannya dengan Maia Estianty. Jadi, kalau mau menggosip dengan saya tentang Ahmad Dhani, anda salah tempat.

Masih Berharap…

Sampai tulisan ini saya posting, belum ada kejelasan mengenai status dari Dewa 19. Kabar Dewa 19 bubar sudah biasa saya dengar, apalagi sejak ditinggalkan Once, sang vokalis sekitar 3 tahunan lalu. Sedih. Ahmad Dhani sepertinya sudah sibuk menjadi presiden di Republik Jancukers Cinta. Sibuk mengurusi banyak artisnya yang tergabung dalam Republik Cinta Management (RCM). Bagaimana dengan band baru Mahadewa? Ah, memang bagus, dengan vokalis Judika yang karakter rock-nya sangat kuat, tapi tetap saja bukan Dewa 19. Ahmad Dhani sendiri yang pernah menyatakan bahwa Mahadewa bukan pengganti Dewa 19, meskipun di album perddananya (semoga bukan satu-satunya) ada beberapa lagu Dewa 19 yag digarap ulang.

Lalu Dewa 19 sendiri bagaimana? Ini adalah pertanyaan yang selalu ingin saya tanyakan langsung ke PakDhe. Orang-orang bilang Dewa 19 sudah bubar. Ahmad Dhani pun hanya pernah menyatakan (seingat saya) bahwa Dewa 19 masih ada, namun konsepnya hanya reuni. Maksudnya, Dewa 19 masih akan melakukan konser reuni (dengan vokal Ari Lasso) di beberapa kota, dan yang saya tahu sudah dilakukan di Malang. Sepertinya terdengar bagus, bisa mengobati rasa kangen. Tapi kok harapan saya masih lebih dari itu ya, saya masih berharap Dewa 19 akan meluncurkan album baru, bukan sekedar single. Jadi, jika ada yang menganggap Dewa 19 sudah bubar, saya hanya menganggap Dewa 19 sedang istirahat, vakum, atau apapun itu, dalam tempo yang sesingkat singkatnja entah sampai kapan.

Salam Satu Hati.


Minggu, 01 Maret 2015

Touchdown Borneo!

Semester genap tahun 2010. Itu adalah semester ke empat saya berkuliah di jurusan yang anda tuju sedang sibuk Antropologi Budaya UGM, jogja. Sesuai jadwal / tradisi / aturan / program di jurusan saya tersebut, semester ini merupakan saatnya bagi angkatan saya (2008) untuk membentuk Tim Penelitian Lapangan (TPL) di libur akhir semester (sekitar bulan Juli). TPL ini wajib, setidaknya satu kali selama menjalani masa perkuliahan. Penelitian ini menjadi sayarat untuk menempuh salah satu matakuliah wajib, yaitu Praktek Penelitian Lapangan (PPL). Sebelumnya saya sudah mengikuti TPL satu kali pada Januari 2010 di daerah Pekalongan selama lebih kurang 2 minggu. Bedanya, untuk TPL yang diadakan pada libur akhir semester genap akan lebih lama yaitu sekitar satu bulan. Untuk itu persiapan perlu dilakukan dengan lebih baik. Dan, tujuan yang menjadi pilihan untuk penelitian kali ini adalah suatu tempat yang jauh di sebrang: Kalimantan. Tepatnya di Kalimantan Barat.

Sebuah tempat yang belum pernah terpikir bagi saya untuk mengunjunginya dalam waktu dekat. Sebuah tempat di luar zona nyaman saya selama ini. Ya, selama 20 tahun lebih kehidupan saya hanya berputar-putar di sekitaran jogja. Dari waktu mbrojol di rumah sakit bethesda, sampai kuliah di UGM, kota gudeg menjadi saksi bagaimana saya menjomblo berproses. Hingga tiba saatnya untuk siap melangkah keluar, melihat kehidupan yang berbeda. Bagi beberapa teman saya yang berasal dari berbagai daerah luar Jawa, merantau mungkin sudah tak asing lagi. Tapi bagi saya ini jelas menjadi awal yang baru.


Kamis, 1 Juli 2010

Pagi-pagi sekali saya sudah harus bangun, demi tidak ketinggalan pesawat yang akan mengantarkan saya menuju petualangan baru. Pagi itu, saya ingat betul, di tengah mempersiapkan segala amunisi, saya menyempatkan untuk online sejenak mengunjungi facebook. Pada tahun-tahun itu, update status masih menjadi semacam ritual bagi saya sebelum melakukan sesuatu (setelah dua tahun terakhir ini saya menilai bahwa update status terlalu sering itu sungguh memuakkan). Terlebih sebuah perjalanan jauh ini. Tidak ingat pasti apa yang saya ucapkan (malas juga scroll facebook ngecek status lebih dari 4 tahun lalu), yang jelas semacam basa-basi perpisahan dengan kekasih kota jogja yang saya cintai ini. Dan, kemungkinan untuk tidak dapat meng-update akun facebook selama sebulan ke depan, karena sedikit banyak saya sudah mendapat informasi bahwa sinyal disana sangat susah. Setelah dirasa cukup, mengecek segala persiapan, berpamitan, segeralah saya beranjak menuju Bandara Adi Soetjipto Yogyakarta.

Dibutuhkan waktu kurang lebih 20 menit (jika lancar) untuk mencapai bandara dari rumah. Tidak ingat pasti, mungkin ini kali pertama saya mengunjungi bandara sebagai seorang calon penumpang. Selama ini saya memang hanya berkutat dengan perjalanan darat, sesekali di air sekedar menyebrang.

Suasana bandara pagi itu sudah cukup ramai. Beberapa kawan sudah terlihat hadir, dengan identitas yang hampir seragam: kaos TPL. Kaos lengan panjang berwarna coklat gelap dengan gambar (yang katanya) burung enggang warna kuning di bagian dada kiri. Tidak ketinggalan tulisan universitas sebagai identitas akademisi[1]. Cukup oke. Terlebih, waktu itu saya juga mengenakan topi a la Indiana Jones (yang kemudian hilang pada ekspedisi tahun berikutnya). Dengan seabrek tas bawaan berisi amunisi, dan semangat berapi-api, pasukan Dr. Pujo Semedi[2] siap menempuh ekspedisi. Rombongan yang berjumlah mencapai 60an orang ini kemudian segera check in, mengurus bagasi, dan menunggu penerbangan yang dijadwalkan pukul 9.30 WIB. Dengan sedikit keterlambatan, akhirnya sekitar jam 10 terbang juga pesawat yang kita tumpangi.

Setelah lebih kurang 90 menit berada di udara, akhirnya pesawat mendarat juga di Bandar Udara Supadio, Pontianak. Tidak ada perbedaan waktu antara Jogja dengan Pontianak. Suhu udara pada waktu itu berkisar pada 31 derajat celcius, begitu menurut keterangan yang diberikan oleh pramugari. Turun dari pesawat, disambut dengan suasana yang sangat berbeda. Udara pada saat itu mungkin tidak lebih panas dari di Jogja, tapi saya merasa cuku menyengat dan sedikit lembab. Saya merasa di beberapa bagian tubuh menjadi gatal, meskipun hal tersebut tidak mengkhawatirkan karena tidak lama untuk kemudian beradaptasi. Masuk ke dalam bandara, suasana terlihat berbeda jika dibandingkan dengan bandara Adi Soetjipto di Jogja. Bandara yang tidak terlalu padat, dengan fasilitas yang juga bisa dibilang biasa-biasa saja. Setelah mengambil tas dari bagasi, saya segera keluar mencoba menghirup udara yang lebih segar. Di luar, kita sudah dituggu oleh dua teman sesama mahasiswa Antro UGM yaitu Zerry dan mbak Anti. Mereka berdua memang lebih awal berada di Kalimantan untuk melakukan survei serta membantu mengurus perijinan. Dari bandara, rombongan segera dikondisikan untuk menuju ke sebuah dermaga yang katanya tidak jauh lokasinya. Sebelumnya, panitia menyiapkan beberapa mobil untuk membantu meringankan barang bawaan peserta. Mobil yang disiapkan hanya menampung tas-tas besar dan beberapa peserta (terutama perempuan). Sedangkan yang lain, termasuk saya akan menuju dermaga dengan berjalan kaki.

Jarak dari bandara menuju ke dermaga diperkirakan mencapai lebih kurang 1,5 km. Pemandangan berbeda mulai di jumpai di perkampungan warga yang kita lewati. Bangunan fisik rumah yang sebagian besar menggunakan kayu, dengan konsep rumah panggung. Rumah-rumah yang nampak sederhana, dengan halaman yang cukup, dan hampir setiap rumah memiliki teras. Di tengah perkampungan tersebut saya menyempatkan diri mampir ke sebuah tempat fotokopi untuk memperbanyak KTP dan surat perijinan, sekedar untuk berjaga-jaga. Akhirnya setelah berjalan kurang dari 30 menit sampailah kita di sebuah dermaga yang kemudian saya tahu bernama Dermaga Sungai Durian. Sebuah dermaga yang tidak terlalu besar, dengan pemandangan sungai dan beberapa perahu nelayan yang sedang bersandar.

Waktu itu sekitar jam setengah satu siang. Panitia sudah menyediakan makan siang berupa nasi bungkus untuk semua rombongan peserta. Kita segera mencari tempat masing-masing untuk menikmati makan siang tersebut. Dan saya memilih sebuah warung kecil yang berada tepat di ujung dermaga, pinggir sungai. Makan siang sambil menikmati pemandangan sungai dengan sesekali perahu yang lewat. Selesai makan, belum ada tanda-tanda perahu yang ditunggu. Saya kemudian memutuskan untuk singgah sejenak di sebuah masjid, tidak jauh dari dermaga.

Selepas dari masjid, saya kembali bergabung dengan rombongan yang masih menunggu perahu datang. Beberapa orang mengobrol asyik di pinggir sungai, beberapa mengambil gambar, dan tidak sedikit yang mulai lelah menunggu. Gerimis sempat turun beberpa kali, membuat kita semakin tak sabar menanti. Mulai dari yang mondar-mandir tidak jelas,hingga ada yang tertidur bersandar di sebuah pohon pinggir dermaga.

Kira-kira hampir jam 2 siang, ketika sebuah perahu kayu yang cukup besar mulai menurunkan laju dan merapat ke dermaga sebelum kemudian berhenti. Suara perahu yang memecahkan keheningan siang itu sontak membuat kita semua yang sudah menunggu segera menyambut dengan antusias. Sambil menunngu perahu menurunkan penumpang dan muatan lain, kita mulai menyiapkan tas masing-masing.
Satu per satu peserta mulai masuk ke dalam perahu, menata barang bawaan, keudian mencari tempat duduk. Perahu ini cukup untuk menampung semua peserta beserta barang bawaan masing-masing yang tentu saja tidak sedikit. Tas-tas besar ditata rapi di bagian tengah perahu, sementara tempat duduk berada di bagian samping kanan dan kiri, memanjang dari depan hingga belakang. Tidak lama perahu segera bersiap untuk berangkat. Perlahan, meninggalkan dermaga dan mulai menyusuri sungai Kapuas. Perjalanan panjang yang menjadi awal dari petualangan kita pada waktu itu.
Borneo!















[1] Peserta TPL terdiri dari mahasiswa UGM yang bekerja sama dengan mahasiswa dari Universitas Toronto Kanada, dan Universitas Leiden Belanda.
[2] Dosen lapangan yang memimpin langsung penelitian.