Selasa, 19 Juni 2012

Pantai Tahun Baru

lanjutan dari malam tahun baru

1 Januari 2012, kira – kira sudah lebih dari jam 4 pagi ketika saya mendengar suara – suara yang membuat tidur saya terganggu. Terpaksa saya membuka mata dan melihat bahwa yang lain sudah bangun (meskipun saya yakin mereka masih sangat mengantuk). Tidak dapat dipungkiri bahwa bantal dan guling menjadi teman erat saat udara dingin. Meskipun semua bangun, seperti tak ada yang bersemangat untuk beraktivitas pagi itu. Saya sempat berpikir untuk membatalkan rencana ke pantai karena tidak mungkin lagi untuk mengejar sunrise. Endang yang biasanya bersemangat pun ingin kembali tidur jika Heppi tidak segera menyingkirkan bantal dan selimut dari jangkauannya. Akhirnya setelah hampir jam 5, semua mampu berdiri, membereskan tempat, cuci muka, dan bersiap. Matahari sudah mengintip dari singgasananya, membuat kita memaksakan untuk segera bergegas. Setelah mengambil kamera, saya langsung mengeluarkan motor dan memanasinya. Tidak sempat saya berpamitan pada orang tua, karena mereka masih terlelap. Hanya pesan singkat yang saya kirim seiring melajunya kendaraan masing – masing menuju arah matahari terbit.
Sebagai orang dengan navigasi yang tidak terlalu baik, saya mempersilakan Arjo dan Andi untuk memimpin rombongan. Saya sendiri lebih suka di belakang mengawasi rombongan agar tidak tercecer (padahal cuma 4 motor). Kalau tidak salah di tengah perjalanan ini kita berhenti di pom bensin 2 kali, mengisi 3 motor teman saya, sementara motor saya sendiri dalam keadaan full dari awal perjalanan. Sempat juga berhenti di indomaret karena Endang akan mengambil uang di ATM yang ada didekatnya. Perjalanan dilanjutkan melewati kota Wonosari. Setelah mengikuti beberapa petunjuk yang ada, tibalah kita di pantai Indrayanti sekitar jam 8 pagi.


Ini adalah kali pertama saya menginjakkan kaki di pantai Indrayanti. Pantainya sudah dikelola sebagai tempat wisata, dan pagi itu nampak sangat ramai oleh wisatawan lokal. Di pinggir pantai terdapat beberapa shelter berupa gazebo yang disediakan untuk beristirahat. Ada juga kamar – kamar yang disewakan untuk mereka yang ingin menginap. Namun sayangnya, potensi yang cukup ramai ini tidak didukung dengan pengelolaan lingkungan yang baik. Saya masih melihat beberapa sampah berserakan di sepanjang pantai, dan tidak nampak petugas kebersihan yang berjaga di sekitarnya. Ramainya suasana pagi itu membuat kita tidak terlalu leluasa untuk bermain. Hanya sekedar melihat – lihat pemandangan serta mengabadikan beberapa gambar. Lalu saya melihat sebuah tebing yang cukup besar di tepi pantai yang nampaknya susah didaki, karena tidak ada orang di atasnya. Namun Arjo tidak setuju dengan pendapat saya dan mengajak untuk mencoba mendaki tebing bebatuan tersebut. Saya juga mengajak Andi, namun dia menolak dengan alasan yang sudah bisa saya maklumi. Saya dan Arjo segera berlari menuju tebing tersebut. Dan memang, setelah berada di bawahnya saya merasa bahwa akan sangat sulit untuk mendakinya. Arjo yang merupakan pendaki gunung saya persilakan naik lebih dulu, sementara saya mengamati dari bawah. Dengan cukup cekatan Arjo mulai menapaki tebing tersebut, mencari pijakan yang pas dan segera sampai di atas. Tibalah giliran saya, namun saya sempat ragu melihat medan yang cukup licin. Entah mengapa saya bisa melihat medan yang licin, padahal saya tidak sedang berada di medan (halah). Saya mengatakan pada Arjo bahwa sandal yang saya pakai tidak cocok untuk medan yang licin (bukan alasan). Akhirnya saya memutuskan untuk melepas sandal dan menaruhnya di antara bebatuan pantai. Perlahan saya mulai mendaki tebing tersebut tanpa beralaskan kaki. Cukup sakit memang karena bebatuannya cukup tajam, namun itu lebih baik daripada menggunakan sandal yang licin. Dengan mengikuti petunjuk yang diberikan oleh Arjo dari atas, akhirnya saya mampu mencapai atas tebing. Dari atas tebing saya sempat mengambil beberapa gambar pemandangan di pantai. Semua orang di bawah nampak kecil di mata saya yang berada di atas tebing.



Endang dan Bewanti yang menghampiri pun tidak jadi naik setelah melihat keadaan tebing yang licin dan curam. Setelah merasa cukup melihat pemandangan dari atas, saya dan Arjo memutuskan untuk kembali menginjak bumi. Pada saat akan turun ini ternyata nampak lebih susah daripada saat mendaki. Posisi mundur membuat saya ngeri dan sekuat mungkin menggenggam batuan agar tidak terjatuh.
Tidak banyak yang kami lakukan di pantai Indrayanti tersebut. Banyaknya pengunjung pagi hari itu membuat kami memutuskan untuk tidak berlama – lama disana dan segera beranjak pergi. Bukan untuk pulang, namun mencari pantai lain yang mungkin lebih sepi. Dan memang sebelumnya, saat perjalanan kami sempat melihat sebuah papan petunjuk yang bertuliskan 'Pantai Pok Tunggal' dengan keterangan 1 km. Setelah membayar uang parkir sejumlah 3 ribu rupiah, kami segera pergi meninggalkan pantai Indrayanti. Melalui jalan yang ditempuh sebelumnya, kali ini sambil memperhatikan petunjuk untuk ke pantai selanjutnya. Tidak lama untuk sampai di persimpangan tersebut, dan kami segera berbelok mengikuti arah yang menunjukkan dimana pantai Pok Tunggal masih 1 km lagi.
Jalan yang menuju ke pantai ini bukanlah jalan utama, namun hanyalah jalan kecil berbatu yang mungkin hanya mampu dilewati 1 mobil saja. Di sebelah kanan adalah tebing, sementara di kiri adalah kebun, ladang dan sawah. Saya tidak terlalu menikmati jalanan berbatu ini, sehingga saya menjadi yang paling belakang di antara yang lain. Ternyata jarak pantai tidak benar – benar 1 km seperti yang tertulis, kalau tidak salah jaraknya adalah 1 km lebih 400 meter. Dan benar saja, meskipun saat itu ada 1 rombongan yang sepertinya baru saja berkemah di tepi pantai, namun secara keseluruhan pantai tersebut belum ramai dan belum dikelola secara baik oleh warga sekitar maupun pemerintah.


Mungkin disinilah kita bisa benar – benar menikmati suasana pantai dan suasana liburan tahun baru. Saya juga bisa merasakan sensasi dinginnya air laut siang itu dan juga deburan ombak yang berguling (halah,, uopoh..). Seperti biasa, foto – foto narsis tidak lupa menjadi agenda wajib hari itu. Dan semoga saja foto – foto tersebut tidak mengganggu pemandangan indah di pantai yang sudah ada.




Ketika matahari semakin menyengat, rasa lelah mulai hinggap, kita memutuskan untuk segera beranjak pulang, sebelum senja menjelang, dan mentari perlahan menghilang (kalimat ini tidak perlu ditertawakan). Perjalanan pulang ini sepertinya akan terasa melelahkan. Namun karena sejak pagi tadi perut belum terisi, maka kita menyempatkan untuk mencari makan di jalan. Saya pikir tidak masuk akal jika harus mencari makan di jalan, maka akhirnya kita membeli makan di sebuah warung di pinggir jalan. Dan warung yang menjadi tujuan siang itu adalah warung mie ayam! Makanan ini sepertinya semakin akrab di perut saya dan teman – teman. Hahaha... (sayang gak ada foto – foto di mie ayam).
Setelah merasa kenyang, perjalanan pun dilanjutkan. Kali ini yang memimpin adalah Endang yang mengusulkan untuk lewat jalan alternatif yang tembus ke Bantul, daerah kekuasaannya. Di sepanjang perjalanan yang berliku ini penyakit kantuk saya mulai kambuh. Beberapa kali saya memejamkan mata sambil tetap melajukan kendaraan di jalanan. Sempat berhenti di tengah jalan (pinggir jalan ding) untuk sekedar beristirahat dan (tetap) mengambil beberapa gambar.


Perjalanan panjang ini akhirnya mencapai tujuannya (lebih tepatnya transit) di daerah Bakulan, Bantul (tempat tinggal juragan Endang). Tuan rumah menyambut baik dengan menghidangkan sekedar minuman dan mengeluarkan kasur untuk istirahat. Tanpa basa – basi, tubuh yang capek dan mata yang mengantuk ini segera terbaring lemah dan dengan cepat terlelap. Satu jam lebih saya tertidur, dan waktu dengan cepat berlalu. Setelah merasa cukup bugar, kita (kecuali Endang) melanjutkan perjalanan pulang ke rumah masing – masing. Hujan yang sangat deras menjadi backsound perjalanan pulang kita sore itu. Kira – kira menjelang magrib saya tiba di rumah. Wow! 24 jam lebih ternyata saya menghabiskan agenda liburan tahun baru bersama teman – teman. Kebersamaan yang membuat waktu seakan berjalan lebih cepat. Namun ini hanyalah secuil cerita yang selalu luar biasa, dan saya harap akan muncul cerita – cerita baru yang mengiringi perjalanan kita menuju usia dewasa (hahaha, sok melankolis). Sampai jumpa di cerita – cerita selanjutnya yang tentu akan semakin seru...




(foto oleh: Endang, Heppi, Arjo, Gilang, Andi, JMX)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar